Monday, April 25, 2011

The Yearling

Yearling, menurut Wikipedia adalah hewan atau kuda muda yang baru meninggalkan masa kecil menuju masa dewasa. Masa muda, ingatkah anda akan masa-masa yang pernah atau sedang anda lewati itu? Masa-masa yang indah sekaligus membingungkan, karena pada masa-masa itu kita merasa seperti berada di puncak dunia. Lalu, baru saja kita merasa demikian, kitapun lalu dihempaskan pada kenyataan yang sesungguhnya. Hidup ternyata memang indah, namun tak pernah mudah. Kalau pengertian itu sudah kita dapatkan, berarti kita telah memasuki kedewasaan. Itulah yang ingin diungkapkan Marjorie Kinnan Rowlings dalam bukunya yang sangat indah ini: The Yearling.

Jody Baxter adalah seorang bocah lelaki yang sedang menanjaki usia remaja. Ia hidup di pertanian bersama Penny Baxter, ayahnya yang kurus ceking dan Ma Baxter yang gemuk. Keluarga Baxter hidup di pondok di dataran tinggi yang dikenal sebagai Pulau Baxter, yang sama sekali bukan pulau, melainkan lahan pertanian yang luas. Hidup bagi Jody sedang di puncak keindahan. Sebagai putra seorang penggarap ladang, ia mulai diajari bekerja meladang dan beternak. Namun karena usianya yang masih muda, tak berat tanggung jawab yang ia pikul sehingga ia pun merasa bebas untuk bermain dan bermanja di sela-sela pelajaran bertani dan berburu yang diberikan oleh Pa-nya, Penny Baxter.

Penny Baxter sendiri adalah sosok lelaki kurus kecil dengan mental sebesar beruang dan memiliki karakter kuat serta memegang teguh prinsipnya. Penny mengingatkanku pada papaku sendiri. Ia juga kurus meski lumayan tinggi. Namun, sama seperti Penny, Papa juga orang yang sangat kuat memegang prinsipnya akan kebenaran, kejujuran dan keadilan, sehingga kehidupan justru sering mengecewakannya. Di mata orang lain, terutama tetangga mereka: keluarga Forrester, bahkan juga di mata istrinya, Penny adalah pria yang (terlalu) lemah lembut dan tak berguna. Penny memiliki prinsip ia takkan membunuh hewan bila tak amat sangat membutuhkan atau bila hewan itu tak mengganggu keluarganya. Meski tahu bahwa daging atau kulit beruang mahal harganya bila dijual dan kesempatan untuk menembak sekawanan beruang terbuka lebar, ia hanya akan menembak secukupnya untuk makanan keluarganya untuk waktu tertentu. Penny percaya bahwa alam memiliki keseimbangannya sendiri, bahwa lebih baik membiarkan rusa tetap hidup, dan bahwa kalau ia harus mati, biarlah ia menjadi santapan hewan besar lainnya. Keluarga Baxter hanya mengambil apa yang mereka butuhkan untuk menyambung hidup, agar dengan demikian terjadi keseimbangan alam yang akhirnya juga akan mereka nikmati secara timbal balik.

Karakter Penny inilah yang teramat sangat dikagumi Jody, anak tunggal keluarga Baxter. Hal itu pula yang menyebabkan Jody sangat cocok dan dekat dengan ayahnya, tapi tak mampu memahami ibunya yang setelah berkali-kali kehilangan bayi, berubah menjadi manusia getir dan sinis. Jody pun makin sering berbagi waktu bersama ayahnya dalam perburuan beruang atau rusa yang mengasyikkan, juga berbagi ketertarikan pada alam dan hewan. Ayahnya juga yang mampu memahami rasa kesepian dalam diri Jody, kebutuhannya untuk memiliki seorang teman, yang akhirnya terkompensasi pada kehadiran seekor anak rusa yang bulunya berbintik cantik. Meski Ma Baxter tak menyetujui keinginan Jody memelihara anak rusa itu, namun ayahnya membela Jody. Maka kini bertambahlah satu anggota termuda keluarga Baxter: si anak rusa yang kemudian diberi nama Flag (karena ekornya yang selalu mengibas-ngibas seperti bendera kecil...).

Jody sangat menyayangi Flag. Ia yang selalu kelaparan dan bernafsu makan besar, malah bersedia mengorbankan susu jatahnya dan sebagian makan malamnya untuk diberikan kepada Flag, karena ibunya keberatan kalau harus memberi makan satu mulut lagi. Semakin besar Flag, semakin tak terpisahkanlah kedua anak muda itu: Jody dan Flag.

Sampai di sini anda mungkin heran. Bagaimana cerita yang terlihat amat sederhana itu bisa menjadi rangkaian kisah sepanjang 501 halaman? Ah...kekuatan utama buku ini memang bukan pada inti ceritanya, namun justru pada detailnya. Membaca The Yearling ini membuat kita merasa seakan pindah ke dunia lain, di abad yang lalu. Begitu anda membuka halaman pertama, anda akan langsung merasa tersihir oleh rangkaian kata-kata yang disemat menjadi untaian kalimat-kalimat indah yang mampu menggambarkan keindahan alam dan suasananya yang mempesona. Yang paling memukauku adalah adegan bangau menari yang secara tak sengaja disaksikan Penny dan Jody di suatu senja ketika pulang memancing. Penggambaran bias merah jambu matahari yang sedang tenggelam dan susana yang kurasakan hampir-hampir magis ketika para bangau memainkan bunyi-bunyian musik dan menari dalam sebuah lingkaran, ahh...seolah begitu nyata dan seakan aku dapat mendengar musik itu sendiri dan menyaksikan pertunjukan itu secara langsung.

Kalaupun ada alur yang agak dinamis dan menegangkan di buku ini, itu terjadi pada setiap perburuan. Perburuan ala Penny bukan perburuan liar yang hanya asal menghabisi saja. Penny memiliki insting yang sangat bagus dan pengetahuan tentang karakter hewan. Meski ia sendirian, ia dapat berhasil mendapatkan buruan karena insting dan kecerdikannya itu, dan dibantu juga oleh anjing pemburunya yang setia: Julia dan Rip. Hanya Slewfoot Tua, seekor beruang pincang yang amat cerdas yang nyaris mengalahkan Penny dan mungkin satu-satunya yang pernah membuat Penny begitu marah hingga hampir tak mampu berpikir jernih. Anda akan tak habis pikir, bagaimana si ceking Penny bisa memiliki keberanian begitu besar. Saat keluarga Forrester yang bermoral rendah dan sering bikin onar mengeroyok seorang pemuda, Penny pun berani melindungi si pemuda. Ia memang menjadi babak belur dan nampak konyol di depan istrinya, namun sesungguhnya sikapnya itu sungguh mulia: menolong siapapun yang diperlakukan dengan tak adil.

Sementara itu, dalam perjalanannya menjadi pria dewasa, Jody telah menyaksikan dan belajar tentang banyak hal. Tentang bagaimana masa lalu dapat mengubah seseorang, bagaimana seorang wanita dapat membuat dua orang pria rela bertarung hidup dan mati, bagaimana alam memberi seorang anak kemampuan intuisi yang tajam, namun di sisi lain mengambil daripadanya tubuh yang sehat dan menggantikannya dengan kecacatan. Namun mungkin pelajaran yang paling berharga yang ia dapat dari ayahnya, selain berburu dan bertani, adalah pelajaran tentang menjadi dewasa dan menghadapi kenyataan hidup, seperti yang diungkapkan oleh Penny:


"Semua orang ingin agar hidupnya indah dan mudah. Hidup memang indah, Nak, sangat indah, namun tidak mudah. Hidup akan menjatuhkan seseorang dan begitu orang itu bangkit, dia akan dijatuhkan lagi."

"Aku ingin agar hidupmu mudah. Lebih mudah daripada yang kualami. Hati seorang ayah sakit saat melihat anak-anaknya menghadapi dunia. Tahu bahwa mereka akan terluka, sama sepertinya... Lalu apa yang harus ia lakukan? Apa yang harus ia lakukan ketika jatuh? Tentu saja ia harus menerima hal itu dan melanjutkan hidup."

Nasihat yang sungguh indah dan mengena, yang lagi-lagi mengingatkanku pada surat Papa untukku saat aku berulang tahun ke 17. Hal yang sama seperti yang diajarkan Penny pada Jody. Bahwa hidup tak selalu mudah, meski toh di sana-sini kita akan boleh melihat beberapa keindahan. Ada saat-saat Penny dan Jody terluka atau kesakitan saat menghadapi hewan buruan, namun ada saatnya juga mereka menikmati pertunjukan bangau menari atau anak beruang main ayunan saat berburu. Sama halnya dengan hidup kita. Namun pada akhirnya, kita semua toh harus tetap menerima semuanya, dan melanjutkan hidup...

Akhirnya terima kasih pada Gramedia yang telah menghadirkan sebuah kisah klasik yang memukau( menjadi pemenang Pulitzer Price tahun 1939), dengan penerjemahan yang indah ini di ranah perbukuan kita. Kita telah boleh mereguk keindahannya, sekaligus memetik pelajaran berharga dari buku ini.

Judul: The Yearling
Pengarang: Marjorie Kinnan Rowling
Alih bahasa: Rosemary Kesauly
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Maret 2011
Tebal: 501 hlm

No comments:

Post a Comment

What do you think?