Wednesday, November 9, 2011

Oidipus Sang Raja

Jujur, saat pertama kali memutuskan membeli buku ini dalam rangka mendukung gerakan #SavePustakaJaya (membantu penerbit Pustaka Jaya untuk kembali bangkit), aku ragu-ragu. Sebelum ini, aku belum pernah membaca karya sastra yang berbentuk drama. Bayanganku, pasti buku ini akan membosankan. Terus terang saja, drama yang kubayangkan itu adalah drama ala sinetron kita yang mendayu-dayu lebay itu, yang ternyata salah besar! Drama ala Yunani Kuno ini berbentuk ode, yaitu semacam puisi yang dinyanyikan. Dan ternyata…aku jatuh cinta pada buku ini!

Drama dibuka dengan datangnya para demonstran yang mengelilingi altar di luar istana kerajaan Thebes. Oidipus, sang Raja Thebes pun keluar menanyakan keresahan mereka. Mewakili rakyat, seorang pendeta tua mengungkapkan bencana yang tengah melanda negeri mereka. Tanaman terserang hama dan wabah penyakit membawa kematian. Dalam pengaduannya itu, pendeta mengingatkan Oidipus akan aksi heroiknya dulu saat ia memecahkan teka-teki Sphinx sehingga menyelamatkan negara mereka. Sesungguhnya, karena jasanya itulah Oidipus kini menjadi Raja Thebes, yang memerintah bersama sang permaisuri, Jocasta.

Ingin menolong rakyatnya, Oidipus lalu mencari tahu penyebab para dewa menimpakan bencana itu. Untuk itu Oidipus telah mengutus Creon iparnya untuk bersembahyang ke kuil dan bertanya pada Dewa Apollo. Jawabnya kemudian datang: semua malapetaka itu jatuh akibat sebuah pembunuhan yang belum terungkap. Pembunuhan atas Laius, Raja Thebes terdahulu, yang menurut kabar dibunuh sekawanan penyamun. Maka Oidipus pun, di depan seluruh rakyat bersumpah akan menemukan pembunuhnya dan menghukum dengan mengasingkannya dari Thebes.

Ternyata jatidiri sang pembunuh bukanlah sepenuhnya tak diketahui. Ada pendeta agung bernama Teirisias yang diduga mengetahui rahasia ini. Maka Teirisias pun dibawa menghadap dan diinterogasi oleh Oidipus. Awalnya Teirisias menolak membeberkan jatidiri sang pembunuh, karena fakta yang ia ketahui sangat berbahaya. Namun karena didesak sang Raja, Teirisias pun membuka rahasia besar yang mengagetkan, sambil menuntut Oidipus menaati sumpahnya. Karena sang pembunuh Laius, menurutnya, adalah Oidipus sendiri! Bukan itu saja, Oidipus diyakini sesungguhnya adalah putra Laius yang dibunuhnya, dan Jocasta yang telah dikawininya.

Tak terkatakan murkanya Oidipus, sampai ia menuduh Teirisias bersekongkol dengan Creon untuk mengkudeta tahtanya.

Untuk menelusuri kebenaran, seorang gembala yang menjadi saksi mata tunggal kematian Laius pun dihadapkan. Dan kesaksiannya meneguhkan ketakutan Oidipus yang paling besar. Ternyata ia lah sang durjana yang telah disumpahinya. Ia lah yang telah meninggalkan noda yang tak terperikan bagi Thebes. Ia sudah membunuh ayah kandungnya, dan mengawini ibu kandungnya.

Lalu bagaimanakah nasib Oidipus selanjutnya? Dan bagaimana ia sampai membunuh ayahnya dan mengawini ibunya tanpa menyadarinya?

Membaca buku ini lumayan mengasyikkan. Meski kisahnya diceritakan lewat ode, namun pembaca justru bisa makin terhanyut dalam emosi para tokohnya, terutama pada Oidipus. Tak dinyana bentuk ode pun tetap dapat membuat sebuah kisah mengalir dengan sempurna, tanpa terasa berlebihan, namun tetap bermakna.

Dari buku ini aku belajar banyak tentang bentuk ode ala Yunani Kuno. Selain para tokoh bergantian berpuisi, ada saat-saat jeda antara scene yang satu dan scene selanjutnya –di mana panggung kosong dari para tokoh—dan diisi oleh paduan suara yang menyanyikan penghantar antar babak. Mereka bergantian membawakan strophe dan antistrophe, yang lalu ditutup dengan epode. Antistrophe adalah bagian yang menjawab dan menyeimbangkan strophe. Jadi, kalau strophe dibawakan dengan nada berapi-api dan bersemangat, maka antistrophe akan menjawab dengan nada melankolis, dan begitu selanjutnya. Sedangkan epode merupakan semacam penutup atau kesimpulan dari suatu babak. Kurasa, di buku ini bagian epode itu diisi oleh Pemimpin Paduan Suara.

Untuk memberikan gambaran isi buku ini, berikut adalah salah satu petikan puisi yang dinyanyikan Oidipus untuk menenangkan rakyatnya di bagian awal drama:


"Telah kulihat semua penderitaanmu
namun tak ada yang melebihi penderitaanku.
Berbagai penderitaanmu adalah tunggal dan satu,
tapi penderitaanku lebih dari satu.
Kecuali menderita untuk diriku,
aku menderita untuk dirimu,
dan juga menderita untuk Thebes."

[penggalan dari bagian lain]


"Baiklah! Akan kukejar jejaknya
dari mula pertama.
Akan kulunasi keadilan demi Dewa,
demi rakyat dan demi yang wafat.
Akan kaulihat aku memburu sang durjana
demi Apollo dan demi Thebes negeri kita."

Dari dua penggal ode itu, aku bisa merasakan bahwa sebenarnya Oidipus adalah raja yang baik, yang mau ikut memikirkan penderitaan rakyatnya.

Empat bintang untuk Sophokles yang telah menciptakan drama ini, dan bagi penerbit Pustaka Jaya yang telah menerjemahkannya dengan baik pula, hingga ode ini masih bisa kita nikmati meski telah diterjemahkan dari versi aslinya.

Catatan:
Apakah anda mengenal Penerbit Pustaka Jaya? Penerbit ini banyak menerbitkan buku-buku klasik dari penulis dunia seperti Fyodor Dostoyevsky, Leo Tolstoy, Mark Twain, Ivan Turgenev dll. Review ini dibuat dalam rangka mendukung gerakan #SavePustakaJaya dari kebangkrutan, agar karya-karya sastra berkualitas dunia tetap boleh kita nikmati bersama. Ayo bergabung bersamaku, beli dan bacalah buku-buku terbitan Pustaka Jaya melalui: Demi Pustaka Jaya

Judul: Oidipus Sang Raja
Penulis: Sophokles
Penerjemah: Rendra
Penerbit: Pustaka Jaya
Terbit: 2009
Tebal: 146 hlm

3 comments:

  1. bagus ya mbk? tapi covernya sungguh tak 'mengundang' :P

    ReplyDelete
  2. baru tadi malam selesai baca buku ini...wkwkwk sampe nggak bisa berhenti..membayangkan adegan dimainkan di panggung drama...pasti keren :)

    ReplyDelete
  3. kayaknya blog mu bisa jadi sumber buatku mencari novel2 keren nih

    ReplyDelete

What do you think?